Thanks to, my best frend yg udah mau kasih ini foto, dan buat kalian yang sudah meluangkan waktu nya untuk membaca secercah kisah ini. Semoga kalian menyukai nya. 😊😊😊
Seperti waktu itu, sebuah kisah ini bermula,
Perempuan
Berpayung Merah
Dari sederet dan sekian banyak kemajuan akibat globalisasi yang sudah
melanda di negeri ini, aku salah satu peminat bahkan pengguna salah satu alat
teknologi. Handphone. Semenjak SMA
aku sudah mempunyai alat komunikasi ini. Bahkan benda munggil itu terus selalu
bersamaku. Seperti tak pernah lekang oleh waktu.
Handphone, Handphone, dan Handphone. Rasanya sedetik, semenit,
sejam, sehari apalagi berhari-hari benda mungil itu tak berada di genggaman ku
dunia seakan-akan terasa hening tak berdetak sedikit pun.
Benda mungil yang selalu menghiasi saku celana ku ini, sudah sangat
terkesan ketinggalan jaman, namun aku tak pernah memperdulikannya. aku masih
tetap menyukainya. Handphone inilah yang membuat aku dapat bertemu
dengannya. Perempuan berpayung merah yang menunggu ku di sana. Walaupun aku tak
pernah kunjung datang dan bertemu langsung dengan ku. Mungkin aku hanyalah
laki-laki yang pengecut, yang tak bisa menerima kenyataan, yang tak mampu
menahan semua logika.
Hingga suatu hari, perempuan yang menungguku di sebuah gang dengan
mengenakan pakaian merah tua. Serta dinanungi dengan payung merah yang
digenggamnya. sambil terus menunggu, dengan wajah yang cemas. Menunggu
kehadiranku, melihat wajah ku. Dan aku pun tak pernah kunjung tiba. Hingga saat
ini, sekarang bahkan untuk selamanya.
Aku mungkin seorang laki-laki pecundang, maaf kan aku Selly.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 wita. Tapi, aku masih saja memencet
tombol-tombol di ponselku. Walaupun lampu kamar sudah mati. Aku
masih tidur-tiduran di ranjang kontrakanku. Aku tidak lah tinggal sendiri,
melainkan dengan seorang temanku. Benny. Aku bertemu dengan Benny sudah
semenjak kecil. Akan tetapi aku tak pernah satu sekolah dengannya. Hanya saja
kali ini aku dan Benny satu kontrakkan. Benny temanku semasa SMA kini aku dan
dia sudah bekerja di perusahaan yang berbeda. Kami berdua sepakat untuk
mengontrak rumah. Setiap hari, bahkan setiap detik pun handphone tak pernah lepas dari genggaman. Batrei handphone sepertinya tak pernah habis-habisnya.
Ketika berkurang satu, bergegaslah ku pasang kabel hitam nan panjang itu.
Handphone, Handphone, dan Handphone. Rasanya sedetik, semenit,
sejam, sehari apalagi berhari-hari benda mungil itu tak berada di genggaman ku
dunia seakan-akan terasa hening tak berdetak sedikit pun. Berbagai macam nomor
singgah dan menghias di layar handphone
ku. Sederet nama pun tak tampak kalah menghias layar handphone ku. Dari rangkaian nama-nama itu. Sepertinya belum ada
yang mampu merajut benang-benang hati
ku. Berkali-kali pula Benny berupaya menasihatiku untuk berhenti mencari dan
mencari perempuan dengan semua kegombalanku. Namun sepertinya usaha Benny tak
mempan ditelingaku. Aku masih berdendang di dunia yang maya, dunia yang penuh
dengan segala yang tak mungkin menjadi mungkin dan tak nyata.
Dari sederet perempuan yang sedang memencet-mencet tombol handphone-nya dan rela membuang pulsanya
hanya demi membalas sms-ku yang penuh kebohongan dan kepalsuan. Sesekali aku
tersenyum sendiri, jika menerima balasan dari teman sms-ku itu. Terkadang aku
berpikir, alangkah hebatnya diriku ini mampu menaklukkan beberapa hati
perempuan hanya dengan kata-kata manisku. Aku sendiri terkadang merasa sombong
dengan keadaanku seperti ini. Aku seperti laki-laki yang sangat sempurna, tidak
ada perempuan yang menolak berkencan denganku bahkan semua perempuan yang
pernah bertemu denganku seperti tidak ingin aku pergi ke lain hati. Mereka rela
melakukan dan memberikan apa saja agar aku tak pergi dari mereka. Itu yang
membuat aku menjadi besar kepala.
Aku sendiri tak mengerti mengapa hal demikian terjadi. Akan tetapi, di sisi
lain aku juga ingin mencari perempuan yang benar-benar dengan krateriaku. Dari
sederet perempuan itu juga, hanya satu perempuan yang menarik perhatian ku.
Selly. Perempuan yang selalu merendahkan dirinya ketika membalas sms dan
menerima telepon ku.
Perempuan yang begitu manis tutur katanya ketika berbincang denganku. Walau
tak bertatap muka secara langsung. Menurut ku, Selly adalah perempuan yang tak
mau memamerkan keahlian dan kelebihan dari dirinya. Aku mulai menyukainya. Aku
pun sedikit demi sedikit mulai berjanji di hati ku sendiri untuk menerima diri
nya apa adanya. Apa pun itu kenyataannya. Aku mau selalu dekat dengannya. Selly
perempuan yang sangat mengerti perasaanku, ketika aku sedang gundah, gembira,
atau pun sedih. Dia selalu bisa menyesuaikan keadaan. Menurut ku, Selly
perempuan yang benar-benar cocok untuk ku. Dia selalu mengingatkan ku untuk
sholat, dan segala aktivitas ku. Aku semakin yakin dan ingin segera bertemu
dengannya.
Ini untuk yang kesekian kalinya, aku mau mengajak Selly untuk bertemu. Akan
tetapi dia selalu menolak ajakanku. Dia selalu beralasan sibuk, sedang di luar
kota, dan semua alasan untuk tidak bertemu dengan ku. Tak lupa dia selalu
merendahkan dirinya dan menyakinkan ku untuk bertemu dengannya. Jujur,
sebenarnya aku sangat penasaran dengannya. Apakah dia seperti yang ku harapkan.
Perempuan yang selama ini aku cari. Aku sudah memantapkan hati ku untuk nya.
Aku pun rela melepas dan tak menghiraukan puluhan sms yang menaungi layar handphone-ku.
Aku pun sudah beberapa kali untuk dapat memakluminya. Akan tetapi, rasa
penasaranku kali ini mungkin sudah tak dapat tertahankan lagi. Dengan segenap
rayuan gombal ku, akhirnya aku mampu membujuk dia untuk bertemu dengan ku.
Lagi-lagi dia terus menyakinkan ku, untuk tidak kecewa atau pun berusaha
menghindar dariku. Aku tak menghiraukan semua pesannya. Aku sudah tak sabar untuk
segera bertemu dengannya. Aku hanya berpikir, Selly adalah perempuan dengan
semua krateriaku. Aku juga yakin dia sangat cocok untukku.
Tepat pukul 11.00 wita siang, aku keluar dari kantor ku menuju Jl. Soetoyo
S. Aku berjanji untuk menemuinya di sebuah gang yang agak buram untuk dibaca.
Dibawah pohon yang lumayan rindang aku menghentikan sepeda motor ku. Selly
berjanji akan menggunakan gaun berwarnah merah dan payung juga berwarna merah.
Dengan segala Dan sesekali menoleh kekiri dan kekanan untuk mencari perempuan
yang mengenakan gaun merah berpayung merah yang sedang menunggu di depan gang
yang tak tentu huruf alphabetnya.
Beberapa menit sudah aku bernaung di bawah pohon yang kini sudah mulai
terkena sinar matahari. Aku pun memutuskan untuk terus berlalu lalang di
sekitar Jl. Soetoyo S. Tak lupa aku menolehkan pandanganku. Mencari-cari sosok
perempuan itu. Sepertinya kali ini aku sungguh mengaguminya. Mengagumi sosoknya
yang menurutku begitu sederhana dan tak menampik segala kekurangan yang ada.
Aku pun rela meninggalkan kantor ku demi dan untuk menemui perempuan itu.
Tepat di depan gang itu seorang perempuan mengenakan gaun merah dan
berpayung merah sedang menunggu seseorang yang ditunggunya. Wajah ku seketika
tampak ceria. Akan tetapi, ketika aku hendak menghampirinya. aku tersadar
seketika. Di kedua belah ketiak lengannya menggapit tongkat untuk menyanggkanya
berdiri. Aku amati struktur tubuh wanita itu. Dan aku baru saja sadar,
perempuan itu tak mempunyai betis di sebelah kirinya.
Aku mengambil handphone yang ada di saku celana ku. Aku ingin
memastikan benarkan perempuan itu yang selama ini mau meluangkan waktu dan
pulsanya untuk aku. Aku pun semakin tak percaya, benarkah dia perempuan yang
selama ini selalu menemani mimpi-mimpi ku. Dia juga yang sering menasehatiku
agar tak lupa sholat, makan dan segala aktivitas ku. Aku semakin tak percaya.
Benarkah dia, perempuan itu?
Memang benar. Ketika aku missed call
ke nomer yang ku maksud, wanita itu sesegera memandangi handphone yang semenjak tadi tergenggam di tangan kanannya. Ketika
perempuan itu hendak mengangkatnya, seketika itu juga aku mematikannya. Ada
sedikit perasaan kecewa. Sesal dan bersalah yang membendung di lubuk hati ku.
Tetapi, tidak bisa disalahkan juga. Dia sudah berulang-ulang kali untuk tak
terkejut untuk melihat dirinya. Ada perasaan menyesal juga, berkecimuk di
kepala ku.
Aku membunyikan mesin sepeda motorku. Dengan gas yang begitu pelan aku
berlalu di depannya. Sesekali ku lirik wajahnya yang penuh dengan kecemasan.
Mungkin dia semenjak tadi berharap dapat menemui aku.’
Perasaan yang bercampur aduk berselimut di benak ku. Aku sungguh menyesal
dan menyesal. Aku telah mengecewakannya. Maaf kan aku, Inna. Seandainya aku
tahu kau seperti ini, mungkin aku tidak perlu melontarkan kata-kata yang
membuat mu tersanjung.
Ku pencet tombol-tombol hitam itu dan beberapa kata muncul di layar handphone ku.
Maaf Selly, aku mendadak harus ke
luar kota. Jadinya aku tak bisa menemui hari ini. Aku sungguh minta maaf.
Pekerjaan mengharuskan ku untuk pergi sementara. Semoga kau dapat memakluminya.
Tak lama di layar handphone ku
yang berwarna biru muncul sederet kata
Tidak apa-apa Dani, mungkin lain
kali kita bisa bertemu lagi. Aku harap, aku tak membuat mu kecewa. Selamat
bekerja.
Ahh,,, betapa mulia nya hati Selly. Dia tidak tahu yang sebenarnya terjadi.
Aku sangat menyesal. Berkali-kali aku mencerca diri ku sendiri. Aku tak
sanggup untuk mengakui diri ku sekarang. Aku seperti pencundang. Dan
sepertinya itu memang pantas untuk ku. Pencundang. Ya, pencundang.
Aku berharap kau tak menghubungi aku lagi, Selly. Seandainya kita kenal
lebih awal, mungkin aku akan menerima kamu apa adanya. Karena aku
merasa nyaman bersama dan dekat dengan mu. Kau seperti pelita hati ku. Akan
tetapi, saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang sebenarnya. Mungkin
karena aku terlalu banyak berharap tentang mu.
Aku sungguh sangat menyesal dan kini aku sadar, manusia itu tidaklah
sempurna. Maaflkan aku, wahai perempuan yang berpayung merah. Semoga ada lelaki
yang mau menerima mu apa adanya. Tapi, saat ini aku harus merenung
mempertanggung jawabkan semua kesalahanku.
***
Kasihan selly, mungkin danni cuma kaget. Mungkin dia sebenarnya masih suka selly tapi terlalu nggak siap sama kenyataannya...
BalasHapusBerharap mereka bersama....